PENDIDIKAN NASIONAL
DALAM RANGKA MEMBANGUN NEGARA BANGSA INDONESIA
YANG CERDAS KEHIDUPANNYA
DAN IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN*)
Oleh,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
I. PENDAHULUAN
Nampaknya sadar akan ketertinggalan Indonesia sebagai suatu bangsa, dalam hampir semua dimensi kehidupan, baik politik, ekonomi, dan IPTEK pada saat memasuki era kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, para pendiri Republik mencitakan membangun Negara Bangsa yang cerdas kehidupannya dalam memasuki peradaban yang mulai mengglobal. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh gerakan negara bangsa di Eropa, yang setelah bernasib sebagai wilayah jajahan dari Imperium Islam, Otonom Turki dan Cina sampai akhir abad ke-15 1) akibat dari berantakannya Imperium Romawi menjadi kerajaan-kerajaan kecil, dengan tokoh-tokohnya Otto von Bismark (Jerman), Napoleon Bonaparte (Perancis), Garibaldi (Italia), dan para pendiri Amerika Serikat serta King Arthur yang “at all costs” membangun “Great Britain”, bercita membangun Negara Bangsa Indonesia yang telah menjadi berantakan setelah runtuhnya Imperium Majapahit menjadi puluhan kerajaan kecil sehingga satu persatu dapat dikuasai oleh pendatang (pedagang) dari Eropa. Berangkat dari pemahaman terhadap latar belakang sejarah dari pemikiran para pendiri Republik yang kesemuanya berpendidikan moderen, dapatlah dipahami mengapa deklarasi kemerdekaan Indonesia sebagai yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 begitu syarat dengan cita kebangsaan seperti yang akan dikutipkan berikut :
1) Pada alenia (1) tertulis :
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa”…….
2) Pada alenia ke (3) tertulis :
“…supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas…”
3) Pada alenia ke (4) tertulis :
(1) …. “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”
(2) …. “mencerdaskan kehidupan bangsa”
*) Disajikan dalam “Seminar Naskah Akademik RUU Pendidikan Kewarganegaraan”, yang diselenggarakan oleh Ditjen Potensi Pertahanan Dephankam, 21 September 2005
1) Baca “The Rise and Fall of The Great Powers”, tulisan Paul Kennedy (1987)
(3) …. “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang – Undang Dasar Negara Indonesia”
Pemahaman kita akan hakekat dari Negara Indonesia merdeka yang dirancang oleh para pendiri Republik adalah Negara Kebangsaan Indonesia (a Nation State) akan lebih mendalam jika kita membaca pidato 1 Juni 1945 Bung Karno, yang atas pengakuan Bung Hatta merupakan bahan yang dibahas oleh Panitia Sembilan dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945.
Pertanyaannya adalah “bagaimana cita-cita mendirikan Negara Kebangsaan itu dapat terwujud ?” Menjawab pertanyaan ini para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh pemikiran Plato empat abad sebelum Masehi dan kebijakan Jerman (Otto Von Bismark) pada abad ke-19, yang meletakkan pendidikan sebagai salah satu penentu keberhasilan membangun masyarakat negara bangsa,mengandalkan kepada diselenggarakannya “Satu Sistem Pengajaran Nasional” (pasal 31 ayat (2) UUD 1945) serta “memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (pasal 32 UUD 1945) dalam membangun negara bangsa. Yang terakhir ini dilandasi oleh pemahaman atas kenyataan sejarah perkembangan peradaban dunia bahwa suatu bangsa akan kokoh bila didukung oleh suatu kebudayaan nasional.
Berdasarkan atas pemahaman terhadap latar belakang pemikiran para pendiri Republik memenuhi harapan panitia, saya akan menyoroti “Pendidikan Nasional Dalam Rangka Membangun Negara Bangsa yang Cerdas Kehidupannya dan Implikasinya terhadap Pendidikan Kewarganegaraan” dengan secara berturut-turut :
(1) Pendidikan Nasional dalam Membangun Negara Kebangsaan di Era Globalisasi ;
(2) Pendidikan Nasional dan Pendidikan Kewarganegaraan;
(3) Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan dengan Penyelenggaraan Pertahanan Negara ;
(4) Beberapa Catatan Penutup.
II. Pendidikan Nasional dalam Membangun Negara Kebangsaan di Era Globalisasi
Di era globalisasi ini yang di negara maju masyarakatnya sudah memasuki era pasca moderen, ditanah air Indonesia ini ada kesan diabaikannya “pendidikan nasional” dan konsep negara kebangsaan. Padahal negara-negara yang sekarang termasuk dalam jajaran negara maju seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Perancis, Jerman, dan Jepang adalah negara maju yang kemajuannya didukung oleh sistem pendidikan nasional untuk membangun negara bangsa mereka masing-masing. Tingkah laku dan sikap politik Amerika Serikat yang melakukan berbagai expansi politik dan ideologi, hakekatnya merupakan perpanjangan dari persepsi dirinya sebagai negara bangsa dan peranannya secara aktif dalam percaturan dunia (dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 ikut serta menciptakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, keadilan sosial, dan perdamaian abadi). Sikap Jerman dan Perancis yang hampir selalu berbeda dengan Amerika Serikat hakekatnya tumbuh dari persepsinya terhadap dirinya sebagai negara bangsa. Demikian juga Jepang, Rusia, dan China.
Gerakan nasionalisme etnis yang memporakporandakan negara Balkan (Yugoslavia) dan negara-negara Asia Tengah dari Uni Soviet tidak melunturkan semangat negara bangsa yang tumbuh sejak akhir abad ke-18 untuk memperkuat jati dirinya sebagai negara bangsa. Dan mereka tetap kokoh karena didukung oleh pendidikan nasional masing-masing yang melahirkan warga negara yang bangga dengan identitasnya sebagai warga negara bangsanya. Konsensus nasional seluruh kekuatan politik di masing-masing negara tidak dapat digoyahkan. Jarang kita membaca dan mendengar ada LSM di Amerika Serikat yang ikut mengajukan pemerintah negaranya ke lembaga internasional karena pelanggaran HAM seperti yang terjadi dalam perang Irak dan Afghanistan. Betapa bersatunya bangsa Italia karena seorang warga negaranya tertembak dalam penyelamatan sandra di Irak. Hal ini tidak terjadi dengan LSM di Indonesia pada saat wartawan/wartawati TV Metro disandera di Irak; yang bertindak adalah lembaga resmi Pemerintah dan tokoh-tokoh nasional. Tetapi sebaliknya LSM kita menjadi pejuang kemanusiaan internasional untuk mengusut berbagai pelanggaran HAM seperti di Timor Timur pasca jajak pendapat yang hakekatnya dapat mencoreng wajah bangsa. Tetapi sebaliknya tidak ada LSM yang merasa tersinggung dengan gejolak pelanggaran perbatasan wilayah negara oleh Malaysia atau tindakan sewenang-wenang alat negara Australia terhadap nelayan bangsanya sendiri.
Ilustrasi diatas menunjukkan betapa pemahaman tentang Indonesia sebagai negara bangsa, seperti Jerman, Perancis, Italia, Amerika Serikat, dan Jepang, serta China maupun India belum sepenuhnya dipahami, dan konsekuensinya adalah diabaikannya pendidikan nasional sebagai sokoguru pembangunan negara bangsa. Di Indonesia, dalam masyarakat pendidikan muncul rasa rendah diri masyarakat bangsa Indonesia (mungkin mental Inlander). Hal ini dapat ditarik dari kenyataan dari munculnya istilah “pendidikan bertaraf internasional”, “sekolah nasional plus” dan seterusnya. Istilah-istilah tadi menunjukkan betapa tidak dipahaminya makna pendidikan nasional. Bahkan dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional-pun disamping ada ketentuan yang menetapkan perlunya ada standar nasional pendidikan, pada saat yang sama ada ketentuan agar “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”2).
Diakui bahwa semua negara bangsa yang kini dominan dalam percaturan global, baik ekonomi, politik, dan IPTEK, sampai sekarang masih tetap berusaha agar pendidikan nasionalnya tidak kalah dalam hal mutu dari pendidikan negara lain. Berbagai pembaharuan yang dilakukan oleh berbagai negara nasional seperti Amerika Serikat bukanlah untuk menjadi bertaraf internasional melainkan menjadikan pendidikan nasional yang mutunya dapat bersaing dengan pendidikan negara lain baik Inggris, Jerman, Perancis, Jepang ataupun Belanda.
Peristiwa ketertinggalan Amerika Serikat dalam teknologi ruang angkasa (Sputnik) pada tahun 1957 yang menjadi pemicu pembaharuan pendidikan di Amerika Serikat, tidak pernah ada istilah menjadikan pendidikan di Amerika Serikat bertaraf internasional. Tetapi hasilnya menjadikan pendidikan Amerika Serikat mampu mendukung percepatan kemajuan Amerika Serikat disegala bidang kehidupan sehingga kini menjadi satu-satunya negara super power baik politik, ekonomi, kekuatan Angkatan Bersenjata, dan IPTEK. Dengan kata lain setiap negara diabad ke-21 ini masih tetap perlu menyelenggarakan pendidikan nasional yang relevan dengan tuntutan pembangunan negara nasional. Sebagai ilustrasi tentang kedudukan strategis pendidikan nasional berikut akan dikutip pernyataan beberapa Gubernur Negara Bagian di Amerika Serikat tentang pendidikan menghadapi era globalisasi. Kalau senator J.F. Kennedy pada saat Amerika Serikat ketinggalan dalam teknologi ruang angkasa mengajukan pertanyaan “What’s wrong with America classroom” (1957), pada tahun 1986 para Gubernur Negara menyampaikan pernyataan berikut :
1) “As a nation, and as a state, we are engaged in protracted economic war of attrition that will not be won with bombers but with blackboard – A war that will not be won or lost in the battlefield but in the classroom” (Gov. Richard D Lamm, Colorado)
2) “Education is the fuel that drives the engine of economic growth and job creation in America’s modern society” (Gov. Rudy Perpich, Minnesota)
2) Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pasal 50 ayat (3)
3) “If the state is going to be serious about industrial recruitment, legislatures and citizens must become serious about improving the quality of our educational system” (Gov. Toney Anaya, New Mexico)
4) “I believe that in a global economy, Ohio’s ability to overtake our competition is directly linked to the level of our investment in education”
5) “… Excellent schooling requires excellent teachers and principals. Excellent people have self-confidence and self-esteem and expect reasonable otonomy. Therefore, if we want excellent schools, we must give more power to the teachers and principals”
Kelima kutipan ini diambil dari A NATION PREPARED : Teachers for the 21st Century
Kini kita bertanya “Adakah diantara elit politik kita yang menanyakan dan memperhatikan secara serious masalah pendidikan dalam kondisi krisis ini ?”
Di era globalisasi ini percaturan dunia dalam segala bidang, ekonomi, politik, IPTEK, didominasi oleh negara yang maju dalam segala bidangnya. Baik dalam kaitannya dengan World Trade Union (WTO), atau PBB segala keputusan yang hasilnya mempengaruhi hubungan antar negara dipengaruhi oleh negara-negara nasional yang unggul dalam segala bidang kehidupan dan itu dipengaruhi oleh sistem pendidikan nasional. Dalam kaitan dengan
masih tetap pentingnya negara nasional, Anthony D. Smith dari London School of Economics menyatakan :
“In this unprecendented situation, nations and nationalism are necessary, if impalatable, instruments for controlling the destructive effect of massive social change; they provide the only large-scale and powerful communities and belief system that can secure a minimum social cohesion, order, and meaning in a disruptive and alienating world. More over, they are the only popular forces that can legitimate and make sense of the activities of the most powerful modern agent of social tranformations, the rational state. For this reason, nations and nationalism are unlikely to disappear, at least until all areas of the globe have made the painful transition to an affluent and stable modernity.3)
(garis bawah oleh penulis)
3) Anthony D. Smith, Nations and Nationalism in a Global Era, (1998) Cambridge, Univ. Press, hal 4.
Pandangan yang diungkapkan Smith diatas, yang sengaja saya kutip secara ekstensif, menunjukkan salah satu argumen tentang masih pentingnya negara nasional, dan dikatakan paling tidak sampai tercapai kemakmuran dan modernisasi yang mantap serta merata secara global. Dipandang dari tingkat kemakmuran masyarakat bangsa Indonesia dan pemerataannya, dan tingkat kemantapan masyarakat Indonesia yang moderen yang rasional, yang berorientasi IPTEK, yang berbudaya demokrasi, dan menjunjung tinggi HAM yang masih jauh dari tingkatan yang sepadan dengan kemakmuran dan kemantapan masyarakat moderen yang demokratis. Bahkan kita masih berada pada tahap transisi yang memerlukan transformasi budaya, pentingnya membangun negara nasional yang didukung oleh terselenggaranya satu sistem pendidikan nasional yang relevan, efisien dan efektif tidak dapat ditolak.
III. Pendidikan Nasional dan Pendidikan Kewarganegaraan
Sesungguhnya pada saat pendiri Republik menetapkan pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional”, dimaksudkan agar pendidikan dirancang, terutama pendidikan sekolah, untuk melahirkan warganegara Indonesia yang mendukung berkembangnya bangsa yang cerdas kehidupannya. Dengan kata lain pendidikan nasional hakekatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin, baik disiplin sosial maupun disiplin nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual, kemampuan profesional/atau vokasional, dalam rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan, serta dalam moral, karakter dan kepribadian. Manusia berkualitas seperti inilah yang diharapkan dihasilkan oleh proses pendidikan di sekolah. Dan atas dasar persepsi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang melahirkan manusia yang berkualitas seperti inilah, mengapa senator John F Kennedy (1957) dan para Gubernur di Amerika Serikat mamandang bahwa keberhasilan Amerika Serikat dalam persaingan global ditentukan oleh kualitas proses pembelajaran yang dialami peserta didik di sekolah. Secara empirik dan teoretik sejak industrialisasi, sekolah adalah lembaga sosial yang difungsikan untuk
mendukung dan membangun negara peradaban4), dan pendidikan nasional adalah berfungsi membangun negara bangsa 5)
Pertanyaannya adalah “Sistem Pendidikan Nasional seperti apa yang dapat berfungsi menunjang Pembangunan Bangsa ?” Tulisan ini tidak bermaksud mengulas secara lengkap jawaban atas pertanyaan tersebut karena untuk itu ada artikel tersendiri yang telah ditulis6) (yang bersama ini saya lampirkan sebagai pelengkap). Dalam pandangan penulis, yang menentukan kemampuan sistem pendidikan nasional suatu negara menghasilkan manusia berpendidikan yang mampu mendukung lahirnya negara bangsa yang kuat, disamping mutu proses pembelajarannya yang bermakna sebagai proses pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap, adalah manajemen dan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dari segi pembiayaan inilah saya akan menyoroti dampaknya kepada pembangunan loyalitas dan kebanggaan warga bangsa kepada negara bangsa.
Adalah dugaan profesional saya bahwa tingginya loyalitas warga bangsa terhadap negara bangsanya antara lain ditentukan oleh kepedulian Pemerintah suatu negara kepada warga negaranya. Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional hampir seluruh negara Eropa (Jerman, Perancis, Belanda, seluruh negara Skandinavia), pendidikan dari SD sampai Universitas dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah (Pusat dan Negara Bagian). Karena itu sudah sepatutnya setiap warga negaranya dapat merasakan bahwa mereka dapat menjadi tenaga ahli (profesional), teknisi andal dan lainnya karena dibiayai negara. Karena itu kita tidak heran bahwa kaum pekerja Jerman bersedia diperpanjang jam kerja dan dikurangi penghasilannya demi perbaikan ekonomi Jerman7). Dan tidak heran pula kalau seorang Presiden Jerman Von Weisaker (1980-an) atas himbauannya dalam satu hari dapat menghimpun dana untuk membantu kelaparan di Ethiopia sebanyak 150 juta US dolar.
Di Amerika Serikat walaupun mulai pertengahan tahun 1980-an untuk memasuki Universitas Negeri sudah mulai membayar, wajib belajar 12 tahun tetap dibiayai
4) Yehudi Cohen : “Schools anf Civilitational State” dalam buku J Fischer, “The Social Sciences and The Comparative Study of Educational System” (1969)
5) John Dewey, “Democracy and Education, (1964) New York, The Mac Millan Co.
6) Soedijarto, “Pendidikan Nasional dalam Sistem Pendidikan Nasional untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaan Nasional” (Juli 2005)
7) Germany’s Surprising Economy” dalam majalah The Economist, August 20, 2005, page 9.
sepenuhnya oleh Pemerintah (Federal dan Negara Bagian), dan Pemerintah Federal tetap menyediakan dana 100 milyard US dollar untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah8). Model pembiayaan penyelenggaraan pendidikan nasional seperti inilah dalam pemahaman saya, merupakan salah satu faktor yang menentukan rasa kebangsaan, kebanggaan sebagai warga suatu bangsa, dan loyalitas terhadap negara bangsa. Karena itu kita menyaksikan betapa bersatunya rakyat Amerika Serikat pada saat menghadapi krisis, baik Perang Dunia II, September 11, dan Huricane Katrina.
Dipandang dari sisi ini UUD 1945 sesungguhnya berkehendak menyelenggarakan pendidikan nasional seperti yang dilaksnakan negara bangsa yang lain. Tetapi akhir-akhir ini walaupun pasal-pasal UUD 1945 telah mempertegas tanggung jawab Pemerintah untuk membiayai pendidikan tetapi praktek penyelenggaraan pendidikan nasional menjadi semakin jauh dari semangat dan aksara yang digariskan dalam UUD 1945. Karena itu kita tidak usah heran kalau para sarjana yang selama sekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi dibiayai oleh orang tua tidak merasakan jasa Pemerintah. Mereka menggunakan paradigma “rate of return”. Jadi investasi yang telah ditanam oleh orang tua selama sekolah harus kembali, akibatnya generasi muda menjadi tipis patriotisme, mudah-mudahan tidak hilang patriotisme. Yang berbahaya adalah kalau selama sekolah ada generasi muda yang dibiayai oleh pihak yang berencana untuk mengubah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Mudah-mudahan pandangan spekulatif ini ditindaklanjuti, karena kekhawatiran saya sebagai salah seorang warganegara yang peduli kepada keutuhan, kekokohan negara bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, adalah jangan sampai loyalitas generasi muda tidak lagi kepada Negara Bangsa tetapi kepada siapapun yang membiayai pendidikan mereka.
Disamping dimensi pembiayaan, yang tidak kalah pentingnya adalah manajemen penyelenggaraan. Di hampir semua negara kesatuan seperti Perancis, Inggris, dan Jepang, penyelenggaraan pendidikan tidak ada yang sepenuhnya “decentralized”. Perancis adalah negara kesatuan yang tidak mengenal desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Inggris, sejak periode M. Thacher mengurangi otonomi penyelenggaraan pendidikan, terutama dimensi kurikulum, karena merosotnya mutu pendidikan Inggris akibat
8) “The Brains Business”, a Survey of Higher Education, dalam majalah The Economist, Sept., 10th – 16th 2005
desentralisasi. Kita sejak berlakunya UU Pemerintah Daerah Tahun 1999 telah memberikan otonomi penyelenggaraan pendidikan kepada Pemerintah tingkat Kabupaten. Bagaimana dampaknya kepada misi kita menyiapkan warga negara NKRI? Perlu ditelaah lebih lanjut.
Setiap negara kebangsaan yang demokratis dalam sistem pendidikannya selalu dikenal adanya program pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari kurikulum suatu sekolah. Hanya namanya berbeda satu dari yang lainnya. Ada yang menggunakan istilah “Civic Education”, “Political Education”, bahkan “Social Studies”. Tujuan dari diberikannya program ini adalah agar setiap generasi muda memahami sistem sosiopilitik negaranya, termasuk latar belakang sejarahnya. Jadi bagi negara-negara yang telah mantap seperti yang telah disinggung dalam pembahasan terdahulu, materi pelajaran ini disajikan untuk meningkatkan “sense of nationality” dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga dari negaranya. Materinya berbeda dari satu ke negara lain, di Amerika Serikat materi utamanya adalah sejarah Amerika Serikat dan UUD Amerika Serikat dan itu wajib diikuti sampai tingkat Universitas. Di Jerman karena terlalu kentalnya rasa kebangsaan Jerman setelah perang dunia yang diajarkan bukan sejarah Jerman tetapi politik dan historiografi.
Di Amerika Serikat disamping materi pelajaran seperti disinggung dialinea terdahulu proses meng-Amerika-kan orang Amerika, apapun ras, suku, dan agamanya adalah melalui panjangnya waktu mereka disekolah, yaitu dari SD sampai SLTA, dari jam 07.00 sampai jam 16.00 sore disekolah yang bernuansa Amerika Serikat, seperti disetiap kelas ada bendera Amerika Serikat dengan potret Presiden Amerika dari yang pertama sampai yang terakhir, lagu kebangsaan dikumandangkan pada setiap kegiatan pertandingan olah raga dan sebagainya. Sedangkan ditingkat Universitas, terutama Universitas Negeri, kampus Universitas merupakan kota akademik dimana mahasiswa tinggal dan belajar dikampus selama masa studi, yang luasnya dapat meliputi seluruh kota kecil, seperti “Cornell University” di Ithaca, atau University of California di Berkley. Paling tidak sampai tahun 1969 mahasiswa tingkat I dan II wajib tinggal di asrama.
Materi pelajaran kewarganegaraan dan suasana sekolah dan kampus merupakan dimensi sistem pendidikan yang sengaja dirancang untuk meng-Amerika-kan semua warga negara Amerika Serikat, dimanapun mereka berada, apapun latar belakang ras, suku dan agamanya.
Dipandang dari perbandingan antar negara, pendidikan kewarganegaraan di Amerika Serikat memang dilakukan secara intensif. Di Indonesia, dalam sejarahnya, pendidikan kewarganegaraan berubah-ubah dari era kesatu ke era yang lain. Sampai dengan tahun 1959, pendidikan kewarganegaraan diisi dengan pelajaran tata negara dan sejarah Indonesia, dalam periode Demokrasi Terpimpin pendidikan kewarganegaraan berisi “MANIPOL USDEK”, dalam Orde Baru diisi dengan Pendidikan Moral Pancasila yang isinya P4 dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kini sesuai dengan UU No. 20 tahun 2005 Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari muatan kurikulum pendidikan nasional dari SD sampai Perguruan Tinggi, tetapi apa isinya dan berapa jam per minggu, UU No. 20 Th 2003 tidak memberi arahan dan PP tentang Kurikulum yang dijanjikan juga belum ditetapkan. Kiranya masih belum jelasnya tujuan dan isi pendidikan kewarganegaraan membuka peluang dari semua pihak yang peduli kepada pentingnya pembangunan negara bangsa untuk memberi masukan. Disinilah kedudukan strategis dari Seminar Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan oleh Departemen Pertahanan. Untuk itu dibagian berikut dari tulisan ini akan berusaha untuk mengupas “Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan”
IV. Pendidikan Kewarganegaraan yang Relevan Dengan Kepentingan Penyelenggaraan Pertahanan Negara
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara pasal 4 menetapkan bahwa tujuan Pertahanan Negara adalah “menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah, NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman”. Dalam pada itu disadari bahwa kemanapun suatu negara bangsa dalam pertahanan negaranya ditentukan oleh kemampuannya menggunakan dan mendayagunakan segala sumber daya nasional, terutama sumber daya manusianya. Karena itu para pemimpin negara yang telah mantap, sejak dini, sebelum menjadi negara besar dan makmur, telah menetapkan peningkatan sumber daya manusia sebagai prioritas bagi peningkatan kemampuan nasional. Karena itu mereka sejak abad ke-19, baik Perancis, Jerman, maupun Amerika Serikat telah menetapkan kebijaksanaan yang menetapkan pendidikan wajib dibiayai sepenuhnya oleh Pemerintah . Suatu paradigma yang dianut bahkan sejak jaman Yunai Kuno dan diikuti sampai sekarang. Plato, 4 abad sebelum Masehi memandang pendidikan sebagai unsur yang essensial bagi pembangunan masyarakat bangsa, karena itu pendidikan sekolah harus bebas dari pungutan biaya, yang menurut Braumbaugh, yang mentafsirkan pandangan Plato dari bukunya “The Republic”, Plato berpandangan sebagai berikut :
“since education plays such a central part in society and since it is through education alone that individual ability and social function can be made coincide, society should established free public schools.
Selanjutnya Plato menyatakan :
“second, the director of education must be one of the most chosen and respected officer of the state in the ‘Republic” The two tasks of the most talented and educated guardian class are legislation and education; the teacher and legislator are the two guardians of the society9).
Berangkat dari ulasan pada bagian terdahulu yang menunjukkan betapa negara demokrasi yang kini termasuk dalam kategori negara maju telah mengandalkan sistem persekolahan nasional sebagai sumber kekuatan negara bangsa., termasuk pertahanannya, yang nampaknya berpangkal kepada pandangan dasar filosofis Plato tentang kedudukan pendidikan sebagai tiang dan pengawal suatu masyarakat masyarakat negara, nampaknya kita makin memahami betapa kedudukan strategis sistem pendidikan nasional (khususnya persekolahannya, dari SD sampai tingkat Universitas) dalam proses pembangunan negara bangsa.
Namun demikian kita menyaksikan betapa penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang selama ini berlangsung, nampak mengabaikan kedudukan strategis pendidikan nasional. Dan bahkan UU No, 20 th 2003 kurang memberi perhatian yang yang memadai terhadap pendidikan nasional sebagai wahana pembangunan dan pertahanan negara bangsa, seperti adanya ketentuan yang intinya mengijinkan warga negara Indonesia ditanah airnya bersekolah di sekolah asing. Padahal seperti hampir semua negara kebangsaan berupaya agar warga negaranya dimanapun dapat bersekolah di sekolah nasionalnya seperti kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional pada era para pendiri Republik masih berkiprah dalam penyelenggaraan negara, untuk orang Indonesia yang berada di luar negeri didirikan sekolah-sekolah Indonesia (di negeri Belanda, di Jepang, di Thailand, di Singapura, di Mesir, dan sebagainya). Karena itu kita mengenal adanya America Schools, British Schools, Deutche Schule, dan sebagainya di negara-
9) Analisa pandangan Plato tentang Pendidikan oleh Robert S. Braumbaugh& N.M. Lawrence dalam buku “Philosophers on Education : Six Essays on the Foundation of Western Thought” (1963), Boston, Houghton Niffi Co. P. 38
negara dimana warga negara mereka tinggal. Atas dasar kenyataan ini sudah selayaknya kalau Departemen Pertahanan memikirkan masalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka pertahanan negara.
Kalau di negara yang telah mapan, loyalitas kepada negara dan kebanggaan nasional yang merupakan potensi pertama bagi kesiapan warga negara dalam bela negara, berakar dari kepedulian Pemerintah Negara yang bersangkutan kepada pendidikan para warga negara, bagi Indonesia pertanyaannya “dalam kondisi sistem penyelenggaraan pendidikan Indonesia yang jauh dari praktek memperhatikan dan melindungi kepentingan warga negara, adalah bagaimana menyeiapkan arga negara yang secara potensial dan effektifitas siap melaksanakan kewajibannya dalam pembelaan negara ?” Yang jelas tugas kependidikan, dalam arti porses pembelajaran ayng harus dirancang dan dilaksanakan akan lebih berat dibandingkan dengan program pendidikan kewarganegaraan yang dirancang dalam suatu sistem yang dalam dirinya secara keseluruhan sudah merupakan program : pendidikan kewarganegaraan. Namun demikian kita harus berupaya menjawab pertanyaan
1. Apa karakteristik seorang warga negara yang secara potensial dan efektif memahami haknya serta siap dan tanggap melaksanakan kewajibannya membela negara ?
2. Bagaimana kita merancang dan melaksanakan proses pendidikan yang dapat menumbuhkembangkan karakteristik warganegara yang secara potensial dan efektif memahami haknya serta siap dan tanggap melaksanakan kewajibannya membela negara ?
Tanpa dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan pertama sukar bagi perencana program pendidikan untuk dapat menyusun program pendidikan yang relevan dan efektif, karena tidak mengetahui apa yang harus dicapai.
Sebagai seorang pelajar pendidikan dan perbandingan pendidikan serta pelajar politik pendidikan dan pendidikan politik, saya berpandangan bahwa ada tiga dimensi utama dari seorang warga negara yang secara potensial dan efektif memahami hak dan siap serta tanggap melaksanakan kewajibannya dalam bela negara : (1) dimensi fisik; (2) dimensi mental-intelektual; dan (3) dimensi ideologis atau sikap dan kemantapan politik terhadap negara bangsa.
(1) Kondisi fisik setiap warga negara yang meliputi kesegaran/kesehatan dan daya tahan merupakan prasyarat utama bagi kesiapan dan tanggapnya seseorang untuk dapat melakukan kewajiban membela negara. Karena itu hampir semua negara demokratis meentapkan pelayanan kesehatan kepada warga negara merupakan tanggung jawab utama pemerintah. Di negara-negara yang telah disebut dalam tulisan ini, termasuk Jepang, pelayanan kesehatan dan pemberian makanan bergizi bagi anak usia sekolah dasar merupakan urusan pemerintah karena memamng sukar dibayangkan tingkat ketahanan suatu negara dengan tingkat kebugaran/kesehatan dan daya tahan fisik warga negara yang rendah. Di negara-negara tersebut olah raga juga merupakan bagian yang essensial dari penyelenggaraan pendidikan
(2) Kondisi kemantapan kepribadian, termasuk didalamnya kemantapan emosional dan intelektual, meliputi disiplin pribadi, disiplin sosial, disiplin kerja, dan disiplin nasional, etos kerja serta kemampuan memecahkan masalah dan mengambil keputusan berdasarkan informasi. Karakteristik warga negara yang demikian secara potensial akan siap diabdikan kepada hak dan kewajibannya membela negara.
(3) Kemantapan politik dan ideologi seorang warga negara, hakekatnya merupkan perwujudan dan pemahaman dan keyakinannya akan kebenaran sistem kenegaraan yang dianut bangsanya. Untuk itu pengetahuan dan pemahaman akan latar belakang sejarah dan filosofi dari diterapkannya suatu sistem sosial – politik negara bangsanya sangatlah diperlukan. Untuk itu pulalah setiap negara demokratis mengenal program wajib belajar dengan tujuan utamanya adalah menjadikan setiap warga negara memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar yang sama tentang sistem sosial – politik negara bangsanya.
Selanjutnya, sebelum menjawab pertanyaan “bagaimana merancang program pendidikan kewarganegaraan yang mampu mengembangkan karakteristik warga negara sebagai yang sepintas diulas, adalah “seberapa jauh program pendidikan nasional telah dirancang dan dilaksanakan untuk mencapai dapat terwujudnya karakteristik warga negara Indonesia yang karakteristiknya secara umum digambarkan dalam menjawab pertanyaan pertama ?” Untuk itu pertanyaan-pertanyaan berikut perlu dianalisis :
(1) Sudahkah sistem penyelenggaraan negara khususnya sistem pendidikan nasional dirancang dan diprogram serta dilaksanakan untuk melahirkan manusia Indonesia yang secara fisik segar/sehat dan berdaya tahan tinggi ?
(2) Sudahkah sistem pendidikan nasional, terutama sistem persekolahan dirancang dan diprogram serta dilaksanakan untuk menjadikan setiap warga negara yang berpendidikan memiliki kematangan pribadi dan intelektual sebagai warga negara ?
(3) Sudahkah sistem penyelenggaraan negara, khususnya sistem pendidikan nasional, dirancang dan diprogram serta dilaksnakan sehingga secra relevan dan efektif melahirkan warga negara yang memahami dan meyakini kebenaran sistem sosial politik negara bangsanya ?
Dalam kaitan dengan penyusunan program Pendidikan Kewarganegaraan umumnya yang dikaji hanyalah yang terkait dengan program untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan terhadap sistem sosial politik negara bangsa. Tetapi dalam pandangan saya, terkait dengan upaya meningkatkan ketahanan nasional dan pertahanan negara, ketiganyaperlu disoroti. Karena seperti yang telah disinggung terdahulu, hanya negara bangsa yang sistem pendidikan nasionalnya dirancang, diprogram dan dilaksanakan untuk mendukung negara bangsa yang kokoh yang dapat menghasilkan warga negara dengan karakteristik yang secara potensial dan efektif siap dan tanggap untuk membela negara.
Terhadap tiga pertanyaan yang diajukan nampaknya sukar untuk mendapatkan jawaban yang positif pada tingkat rancangan, seperti yang terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003 maupun program dan pelaksakannya. Karena itu sudah selayaknya kita mengajukan usulan agar ketentuan yang terdapat dalam pasal 31 UUD 1945 yang meliputi lima ayat, dan pasal 32 UUD 1945 segera dilaksanakan.
Khusus yang terkait dengan pertanyaan ketiga yaitu tujuan, kerangka materi, dan model pembelajaran untuk Pendidikan Kewarganegaraan seyogyanya mimbar ini melalui Departemen Pertahanan Nasional mengajukan berbagai usulan yang terkait dengan ketiga hal tersebut, yaitu tujuan struktur materi, suasana dan model pembelajaran yang dapat menghasilkan warga negara terdidik yang :
(1) memahami sejarah, dan landasan filosofis dari sistem sosial negara bangsa Indonesia
(2) memahami dan meyakini bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah pilihan terbaik bagi kelangsungan, keutuhan, dan kejayaan Negara Bangsa Indonesia
(3) memahami dan meyakini bahwa keutuhan, keamanan, dan kelestarian NKRI adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia
(4) memahami bahwa NKRI sebagai negara kepulauan memerlukan strategi geopolitik yang ampuh dan untuk itu memerlukan dukungan sistem pertahanan yang tangguh.
(5) memahami bahwa keampuhan sistem pertahanan negara akan ditentukan oleh dukungan seluruh warga negara bangsa Indonesia
Adalah pandangan saya bahwa karena UUD 1945 mengamanatkan adanya satu sistem pendidikan nasional untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang dalam pandangan saya harusnya berintikan pendidikan kewarganegaraan, maka pendidikan kewarganegaraan tidak perlu disusun sebagai satu UU melainkan perlu dirumuskan sebagai Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Bela Negara. Dengan kata lain melalui UU Bela Negara sebagai pelaksanaan pasal 9 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
V. Beberapa Catatan Penutup
Dari serangkaian analisis dan ulasan terdahulu dapatlah ditarik beberapa catatan berikut :
(1) Bahwa Deklarasi Kemerdekaan Indenesia sebagai terumus dalam Pembukaan UUD 1945 berkehendak untuk membangun negara kebangsaan yang moderen, demokratis, berkeadilan sosial berdasarkan kepada Pancasila
(2) Bahwa UUD 1945 hakekatnya sebagai yang tertulis dalam pasal 31 dan pasal 32 mengamanatkan untuk menjadikan sistem pendidikan nasional sebagai wahana untuk membangun negara bangsa Indonesia yang cerdas kehidupannya dan maju kebudayaan nasionalnya, seperti yang dianut oleh negara-negara yang kini termasuk dalam negara bangsa yang maju
(3) Bahwa praktek penyelenggaraan pendidikan nasional terutama sejak Orde Baru, telah meninggalkan amanat UUD 1945 untuk membiayai sepenuhnya penyelenggaraan pendidikan, terutama pendidikan dasar, seperti yang dianut negara demokrasi moderen, terutama negara kesejahteraan seperti Indonesia ,suatu kebijaksanaan yang diduga dapat meniadakan rasa berhutang budi warga negara kepada Pemerintah Negaranya dengan akibat lebih lanjut adalah rendahnya loyalitas warga negara kepada negaranya.
(4) Bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional sampai sekarang nampaknya tidak dimungkinkan untuk menghasilkan warga negara yang secara potensial dan efektif siap dan tanggap untuk membela negara baik dari dimensi fisik, kepribadian dan kecerdasan, serta ideologi politiknya
(5) Bahwa adanya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU tentang Sisdiknas dan UU tentang Bela Negara yang secara khusus memberikan arahan tentang tujuan, strukturmateri dan model pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu dirancang bersama antara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pertahanan Nasional
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang dapat saya sumbangkan.
Jakarta, 18 September 2005
Penulis/Penyaji,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ/
Ketua Umum ISPI/ Ketua CINAPS/
Ketua BASNAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar